Jumat, 13 November 2009

Kesalahan Manusia (Human Mistake)

BENCANA alam melanda hampir seluruh pelosok negeri ini, terutama banjir. Di
berbagai daerah di Indonesia, bencana banjir menimpa dan menelan banyak korban
jiwa dan materiil. Fenomena ini merupakan isyarat tentang ketidakseimbang-an
ekosistem kita. Ada sebuah problem dalam tatan-an alam kita. Muncul pandangan
bahwa alam semakin tidak ramah. Namun, pertanyaannya adalah ramahkah kita
memperlakukan alam? Sebab, keramahan kita dalam memperlakukan alam lebih lanjut
akan berdampak pada keramahan alam itu sendiri kepada kita. Keduanya
menciptakan hubungan timbal balik.

Oleh karena itu, ketika terjadi berbagai bencana alam, maka pertanyaannya
adalah apakah itu wujud dari ketidakramahan alam, atau akibat ketidakramahan
kita memperlakukan alam? Di sini, bagaimana manusia memahami dan memosisikan
alam merupakan persoalan mendasar. Sebab hal itulah yang menentukan cara
manusia melakukan hubungan dengan seluruh elemen alam.




Jika demikian, maka paradigma manusia tentang alam semesta dan eksistensi
dirinya merupakan titik tolak terbentuknya cara merajut hubungan dengan alam
itu sendiri. Kesadaran adalah aspek yang paling fundamental dalam hal ini.
Bagaimana kesadaran manusia tentang alam semesta, akan menjadi titik tolak
perlakuan manusia itu sendiri terhadap alam semesta. Pola relasi yang di-
bangun manusia dengan alam semesta bertumpu pada ke- sadarannya tentang posisi
alam semesta itu sendiri terhadap dirinya. Karena itu, jika kita mau merubah
ca- ra manusia mem- bangun relasinya dengan alam semesta, yang penting adalah
peru-bahan kesadarannya tentang alam semesta itu sendiri.

Banyak hal yang mempengaruhi terbangunnya paradigma tentang alam ini. Salah
satunya yang paling signifikan adalah aspek teologis. Teologi memberikan andil
pada konstruksi pandangan manusia dalam memahami dan memposisikan alam semesta.
Pola relasi yang dibangun manusia dengan alam, dalam batas tertentu,
dipengaruhi oleh pandangan teologisnya. Sebab secara konsepsional, agama sangat
mengapresiasi eksistensi alam semesta.

Keberadaan alam semesta menjadi salah satu aspek penting dalam konsep
keagamaan. Bahkan konsepsi dasar keagamaan, bertolak dari persoalan tentang
alam semesta. Karenanya, sangat wajar jika agama menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi terbentuknya kesadaran manusia tentang alam semesta. Bagaimana
manusia membangun relasinya dengan alam semesta, biasanya itu dipengaruhi juga
oleh pandangan keagamaannya.

Karena itu, menganalisa fenomena bencana alam dari perspektif teologis, akan
sangat menarik, korelatif dan relevan. Pada titik mana pengaruh tersebut bisa
kita lihat, tulisan ini mencoba untuk mengungkapnya.




Konsepsi agama terkait dengan alam semesta dimulai dari pandangan tentang
terciptanya alam semesta itu sendiri. Ini yang paling fundamental. Dalam hal
ini, dengan mengacu pada hukum kausalitas, agama sampai pada kesimpulan bahwa
keberadaan alam merupakan bukti (keharusan) adanya eksistensi Tuhan selaku
penciptanya. Terciptanya alam semesta merupakan akibat dari sebuah sebab
penciptaan yang dilakukan oleh 'tangan' Tuhan.

Secara konsepsional, inilah titik awal terbentuknya relasi antara alam dan
manusia. Di sini, alam dan manusia diasumsikan sebagai satu kesatuan. Manusia
merupakan salah satu bagian dari alam semesta hasil ciptaan Tuhan. Dalam hal
ini, konsepsi teo- logi menganut pandangan yang sama. Manusia merupakan bagian
dari alam. Tak ada 'jarak' antara alam dan ma- nusia sebagai hasil kreasi
Tuhan.

Perbedaan pandangan teologis mulai muncul dalam memahami eksistensi alam
semesta pasca penciptaan. Muncul beberapa aliran teologi dalam memahami
fenomena ini. Dari perbedaan ini lahir tiga pandangan tentang ke- bebasan
manusia dalam kaitannya dengan kekuasaan Tuhan. Pandangan-pandangan inilah yang
kemudian memberikan pengaruh pada pola relasi manusia dengan Tuhan.


Pandangan Teologis



Pertama, pandangan teologis bahwa setelah menciptakan alam semesta, Tuhan tidak
melakukan intervensi atas alam semesta tersebut. Apa yang terjadi dalam alam
semesta adalah proses alamiah. Ini merupakan cikal lahirnya konsep tentang
kebebasan manusia. Dalam pandangan ini apa pun yang terjadi serta dicapai oleh
manusia merupakan akibat atau hasil dari apa yang telah dilakukan dan
diusahakannya. Dilihat dalam perspektif teologi ini, fenomena bencana alam
dilihat dalam konteks proses alamiah itu sendiri atau akibat dari pola relasi
manusia dengan alam. Bencana alam bisa terjadi karena bagian dari proses
alamiah. Atau juga sebagai akibat dari tindakan manusia itu sendiri. Bencana
alam terjadi akibat dari kesalahan pola relasi manusia dengan alam.

Kedua, pandangan teologis yang meyakini adanya kendali dan intervensi Tuhan
secara total dalam proses berjalannya kehidupan di alam semesta. Dalam hal ini,
kuasa Tuhan sepenuhnya berada di atas usaha manusia. Dalam hal ini, Tuhan
dinisbatkan sebagai entitas yang sejak zaman azali telah menentukan takdir dari
masing-masing manusia. Sehingga usaha apa pun yang dilakukan manusia, berada
dalam lingkar garis batas takdir Tuhan.

Dibaca dari perspektif teologi ini, fenomena bencana alam dipahami sebagai
sebuah ketentuan yang telah ditetapkan Tuhan. Ada pun segala macam penyebab
terjadinya bencana ini dipahami hanya sebagai perantara atau alat Tuhan untuk
mengimplementasikan takdir yang telah ditentukanNya. Jadi, proses sebab akibat,
dalam perspektif ini, harus dilihat dalam konteks takdir Tuhan. Dalam hal ini,
terjadinya bencana 'dirasionalisasi' sebagai bentuk peringatan atau pelajaran
dari Tuhan kepada manusia agar berintrospeksi.

Ketiga, ada sebuah pandangan yang mencoba mencari jalan tengah di antara dua
titik ekstrem tersebut. Dalam pandangan jalan tengah ini, disimpulkan bahwa
dalam beberapa hal, Tuhan tetap melakukan intervensi terhadap alam semesta. Ada
beberapa hal yang telah menjadi ketentuan Tuhan, dan karena itu tidak lagi
dapat dirubah oleh kuasa manusia. Namun ada juga beberapa hal yang ditentukan
sepenuhnya oleh usaha yang dijalankan manusia itu sendiri. Jika ditilik dari
perspektif teologis ini, fenomena bencana alam disimpulkan dalam dua kategori
berbeda: ada bencana alam yang merupakan takdir Tuhan dan ada pula yang
merupakan ulah tangan manusia.

Dari berbagai pandangan teologis tersebut ada beberapa hal yang menjadi
fundamental keterkaitan antara konsep teologi dengan pola relasi manusia dan
alam.

Sebenarnya dalam konsep dasar teologis tentang pembuktian adanya eksistensi
Tuhan, manusia dan alam diasumsikan sebagai satu kesatuan hasil kreasi Tuhan.
Keduanya bukan merupakan bagian yang terpisahkan.

Logikanya, keutuhan alam semesta pada dasarnya merupakan masa depan manusia itu
sendiri. Maka dari itu, pola relasi manusia dengan alam, secara substansial
merupakan relasi manusia dengan dirinya sendiri. Bagaimana manusia memosisikan
serta memperlakukan alam merupakan pemosisian dan perlakuannya terhadap dirinya
sendiri.

Pemahaman manusia akan alam adalah pemahaman tentang dirinya sendiri. Maka
kesalahan dalam memahami alam secara substansial sebenarnya merupakan kesalahan
manusia dalam memahami dirinya sendiri. Sehingga dampak dari kesalahan
pemahaman tersebut akan dirasakan efeknya oleh manusia.

Timbulnya bencana alam sebagai akibat dari tindakan eksploitatif dan destruktif
manusia, pada dasarnya merupakan eksploitasi dan penghancuran manusia terhadap
dirinya sendiri.

Kedua, konsep teologis yang berpandangan bahwa bencana alam bisa terjadi
sebagai akibat dari pola relasi yang dibangun manusia dengan alam, cenderung
mengarahkan pada sikap bertanggung jawab terhadap eksistensi alam. Di sini,
manusia memikul tanggung jawab untuk menjaga alam. Jika manusia lengah dalam
memikul tanggung jawab tersebut maka akibatnya akan ditanggung oleh manusia
sendiri. Sebaliknya, kelestarian alam semesta merupakan jaminan masa depan yang
cerah bagi umat manusia sendiri. Dalam konteks ini, manusia diasumsikan menjadi
sebab dari segala akibat yang dihadapinya terkait dengan fenomena alam semesta,
termasuk bencana alam walaupun ada juga beberapa fenomena alam yang merupakan
gejala alamiah.

Bencana banjir, dalam hal ini, dilihat sebagai akibat dari apa yang dilakukan
manusia, di antaranya adalah penebangan hutan secara liar, mengabaikan tindakan
reboisasi, serta sebab-sebab yang lainnya. Kesemuanya itu bermuara pada
kesalahan manusia dalam membangun relasi dengan alam semesta. Jadi, dalam
konsep teologis ini, manusia benar- benar diserahi tanggung jawab atas masa
depan eksistensi alam semesta.



Ada pun konsep teologis yang menganut pandangan bahwa terjadinya bencana alam
merupakan hasil dari proses intervensi Tuhan, cenderung mengarahkan manusia
pada sikap tidak memikul tanggung jawab terhadap eksistensi alam. Ada
kecenderungan fatalisme dalam memosisikan dan memperlakukan alam, yang
konsekuensinya dilihat dalam kaca mata yang sama, itu dianggap bukan merupakan
dari tanggung jawab manusia. Dalam konsep ini, terjadinya bencana alam tidak
dili- hat dalam keterkaitannya dengan tindakan eksploitasi dan desktruktif
'tangan' manusia.


Jalan Tengah

Sedangkan pandangan teologis 'jalan tengah' secara konsepsional masih memiliki
problem krusial. Pandangan tersebut tidak bisa memberikan batasan yang tegas
tentang kebebasan manusia dan takdir (intervensi) Tuhan. Sejauh mana intervensi
'tangan' Tuhan mempengaruhi usaha yang dilakukan manusia? Dan sejauh mana pula,
usaha yang dilakukan manusia bisa merubah takdir yang telah ditetapkan manusia?
Akibatnya, dalam batas tertentu, konsep teologis jenis ini memang memberikan
rasa tanggung jawab kepada manusia untuk menjaga eksistensi alam. Tapi pada
sisi yang lain, konsep ini juga mengarahkan pada sikap fatalistik (tidak
bertanggung jawab) terhadap eksistensi alam.

Harus diakui bahwa persoalan teologi tidak sesederhana dan sesingkat
sebagaimana dijelaskan di atas. Namun, kita tentu dapat menimbang pandangan
tersebut secara bijaksana ter- kait dengan bagaimana manusia membangun
relasinya dengan alam. Di negara kita, pandangan teologis fatalistik mungkin
masih kuat menancapkan dalam kesadaran keberagamaan banyak orang. Sehingga itu
berdampak pada munculnya sikap yang kurang bertanggung jawab terhadap
eksistensi alam. Terjadinya bencana alam tidak dibaca sebagai akibat dari pola
relasi yang salah yang kita bangun dengan alam semesta. Tapi dilihat sebagai
peringatan, kemurkaan dan pelajaran yang Tuhan turunkan kepada manusia
Indonesia. Kita memang suka melempar tanggung jawab kepada 'langit'.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar